Pada
pertengahan Januari lalu, belasan wisatawan asal Belanda berkeliling
Banjar Binoh Kaja, Denpasar, Bali. Mereka bernostalgia melihat kerajinan
gerabah tradisional yang masih tersisa dan dipertahankan oleh
Pemerintah Kota Denpasar serta menjadi agenda wisata. Kerajinan itu unik
karena melibatkan para perempuan berusia lanjut alias lansia.
Kerajinan itu sebenarnya sudah menjadi kisah masa lalu ketika
terancam punah tahun 1992. Namun, ternyata, kerajinan tersebut hingga
kini tetap bertahan dan itu semua berkat kehadiran I Wayan Suweta dan Emy yang dengan segala cara berjuang agar kerajinan gerabah di Banjar Binoh Kaja tersebut tetap lestari.
Salah satu perajinnya adalah ibu kandung Suweta sendiri. Suweta
terketuk hatinya ketika melihat ibunya mendapatkan penggantian dari
pengepul yang tak sebanding dengan sebuah pot berukuran besar. ”Para
perajin ini tidak pernah mendapatkan uang. Mereka hanya dihargai dengan
penggantian barang yang tidak sebanding dengan jerih payah membuat
gerabah,” tutur Suweta. Biasanya mereka mendapat pengganti beras dari hasil kerajinannya.
Suweta yang hanya lulusan sekolah teknik mesin (STM) itu pun mulai
berupaya dengan menerima penitipan gerabah dari ibu dan teman ibunya.
Beberapa buah hasil karya perempuan lansia itu lalu dipajangnya
bersanding dengan bengkel motornya.
Menurut Suweta, sejak adanya kerajinan gerabah di banjar itu puluhan
tahun lalu, tidak pernah ada galeri atau toko pemajang karya perajin.
Semua hasil kerajinan diberikan kepada para pengepul. Karena itu, ia pun
tertarik memajangnya di dekat bengkel depan rumahnya. Ia tak menyangka
hal tersebut menarik perhatian pengguna jalan yang lewat.
Cerita kehidupan kemudian mulai bergulir. ”Satu-dua pot gerabah terjual. Saya jadi semangat memajangnya. Ibu saya juga senang,” kisah bapak dua anak ini.
Gayung bersambut. Memasuki tahun 1997, Suweta ditawari Pemerintah
Kota (Pemkot) Denpasar untuk mengelola kelompok perajin gerabah ini.
Alasan pemkot, kerajinan gerabah ini menjadi salah satu andalan industri
yang dipertahankan sekaligus menjadi tujuan pariwisata di tengah kota.
Awalnya Suweta ragu. Namun, bersama sang istri, Emy, ia menerima
tawaran dari Pemkot Denpasar itu. Emy mengaku sempat kesulitan merayu
para perempuan lansia itu untuk berkarya meski hanya sebagai pekerjaan
sambilan.
”Kami berupaya terus mengatur mereka, khususnya dalam penggunaan uang. Sebelumnya mereka terbiasa dengan barter barang,” kata Emy. Apalagi proses barter seperti itu sudah berlangsung lama sehingga sudah menjadi kebiasaan.
Saat itu, Suweta dan Emy mengupayakan uang sekitar Rp 1,5 juta untuk
modal kelangsungan kelompok perajin gerabah ini. Uang itu terutama
digunakan untuk membeli bahan baku tanah liat yang pada saat itu satu
truk seharga Rp 350.000 untuk dibagi kepada anggota kelompok. Sekarang
omzet kerajinan mereka sudah mencapai puluhan juta rupiah. Seorang
perajin rata-rata mengantongi penghasilan sekitar Rp 700.000 per bulan.
Bagi Emy atau Suweta, mengelola kerajinan kelompok lansia yang
anggotanya 27 orang dengan usia lebih dari 45 tahun itu merupakan
kepuasan tersendiri. ”Kami bangga mampu memotivasi mereka untuk tetap eksis dan lestari,” kata Suweta yang ditimpali senyum sang istri.
Selain menghidupkan kelompok, tebersit pula keinginan untuk membantu
finansial keseharian para perempuan lansia ini dengan membentuk
koperasi. Maka, sekitar setahun kemudian Suweta dan istrinya membentuk
koperasi simpan pinjam bernama Emyta (Ekonomi Masyarakat yang Tangguh
Abadi). ”Banyak orang mengira ini singkatan dari nama kami berdua. Padahal, ini hanya kebetulan saja,” ujarnya.
Kelangsungan koperasi ataupun kelompok semakin maju dan mendapat
kepercayaan dari beberapa instansi berupa kucuran dana hingga bantuan
alat tungku pembakaran. Pertama kali mendapatkan pinjaman sekitar Rp 5
juta dari beberapa instansi, baik pemerintah maupun swasta.
Sejumlah pelatihan juga diikuti Suweta dan Emy. ”Ini semua demi
kemajuan kelompok. Ya, kami pun tak bisa berharap banyak dari anak
mudanya. Anak muda di sini, hari ini mau, besok sudah malas lagi. Kami
tidak bisa memaksa. Karena niat kami tulus untuk kelestarian gerabah
asli buatan perajin lansia Denpasar,” papar Suweta.
Pasangan suami istri ini cepat-cepat menyanggah jika dikatakan
gerabah itu dibeli karena belas kasihan mengingat pembuatnya adalah
perempuan lanjut usia. Itu pendapat salah!
Suweta menjelaskan, gerabah Binoh Kaja ini berbeda dengan gerabah
yang ada di tempat lain di Denpasar atau daerah lain. Menurut dia, Binoh
Kaja menjadi sentra perajin gerabah Denpasar karena memang daerah
itulah pelopornya. Kualitasnya pun lain, demikian pula proses
pembuatannya.
”Pembuatannya murni menggunakan tenaga para lansia ini, tanpa bantuan alat putar,”
ujar Suweta. Cara itu menghasilkan gerabah yang relatif tebal dan kuat
dibandingkan dengan yang dibuat dengan alat pemutar yang menghasilkan
gerabah lebih tipis. Pembakarannya pun dari bawah dan benar-benar
diperhatikan tingkat kematangannya agar tak gampang pecah.
Kelemahannya, penyelesaian gerabah butuh waktu lebih lama sehingga
sulit memenuhi order dalam jumlah besar. Maklum, para perempuan ini
tidak 100 persen fokus pada pembuatan gerabah, mengingat kegiatan itu
awalnya hanya sebagai pengisi waktu luang di usia senja.
Keahlian para perajin terus bertambah dari hanya gerabah berukuran
pot besar tanpa hiasan atau polosan seharga sekitar Rp 30.000 meningkat
dengan tambahan gambar atau hiasan di sekitar pot agar tidak tampak
polos. Sekarang order banyak datang dari kalangan pengusaha spa.
Pasangan Suweta-Emy bertekad akan terus berupaya melestarikan usaha
kerajinan itu. Jika suatu saat jumlah perempuan lanjut usia ini
berkurang, mereka akan menempuh jalan apa pun, termasuk menerima perajin
dari luar Binoh Kaja, jika terpaksa.
”Kami tetap mengedepankan kelestarian Binoh Kaja sebagai sentra gerabah pertama di Denpasar, apa pun yang terjadi,” ujar Suweta dan Emy.
0 coment:
Posting Komentar